Beberapa waktu lalu, Penulis diundang Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk mengikuti acara Refleksi Pendidikan dengan Tema “Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Di acara refleksi ini, semua stakeholders pendidikan di Jawa Timur diundang, mulai dari Kepala Dinas Pendidikan Se-Jawa Timur, Kepala Sekolah SMA/SMK baik Negeri dan Swasta, Koordinator Pengawas, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur di seluruh Wilayah Jawa Timur, Ketua Dewan Pendidikan Se-Jawa Timur dan pakar-pakar pendidikan.
Dalam acara refleksi tersebut, salah satu pembahasan yang menjadi pusat perhatian adalah tentang berbagai macam Permasalahan Pendidikan di Jawa Timur. Setidaknya terdapat 6 (enam) permasalahan, yaitu: Pertama, Disparitas Kualitas (Antar Daerah dan Antar Lembaga. Kedua, Sarana dan Prasarana (Ketersediaan, Kesesuaian, Pemanfaatan). Ketiga, Relevansi (Kesesuaian dengan Kebutuhan Industri Dunia Kerja/Usaha dan Perguruan Tinggi. Keempat, Guru dan Tenaga Kependidikan (Kuantitas, Kualitas, Spesifikasi Kompetensi dan Sebaran. Kelima, Sinergi (Pemerintah, Masyarakat dan Swasta). Dan keenam, Kapasitas Fiskal Sekolah (Kemampuan anggaran setiap sekolah yang masih bergantung pada jumlah siswa (BOS, BPOPP, Komite Sekolah).
Dalam tulisan kali ini, Penulis akan lebih fokus pada permasalahan sinergi dan kapasitas fiskal sekolah. Setidaknya 2 (dua) permasalahan ini masih “menghantui” dunia pendidikan di Magetan. Seperti yang sudah kita pahami bersama, bahwa persoalan dan kemajuan pendidikan tidak lepas dari sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Setidaknya pemerintah memiliki 6 (enam) peran penting dalam menjaga kualitas pendidikan yaitu: penyusunan dan implementasi kebijakan pendidikan, pengalokasian anggaran pendidikan, peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pendidikan, pemerataan akses pendidikan, monitoring dan evaluasi pendidikan.
Sedangkan peran masyarakat dalam menjaga kualitas pendidikan setidaknya terdapat 6 (enam) hal yaitu: partisipasi dalam pengelolaan sekolah, mendukung pendidikan di rumah, kemitraan dengan lembaga pendidikan, advokasi pendidikan, dukungan moral dan psikologis, dan pemberdayaan komunitas belajar. Realitas yang ada, bahwa persoalan mulai muncul tatkala sinergi masyarakat dalam hal ini Komite Sekolah untuk mendukung kapasitas fiskal sekolah sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan sekolah, dimaknai negatif sebagai upaya untuk menarik “pungutan liar”. Padahal esensinya semua pihak terutama Sekolah dan Komite Sekolah tidak ada keinginan atau niatan untuk melakukan “pungutan liar”
Seperti yang sudah kita pahami bahwa perhatian pemerintah baik pusat, provinsi, kabupaten/kota terhadap kemajuan pendidikan khususnya dalam hal anggaran pendidikan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bahwa pemerintah pusat yang telah menggelontorkan anggaran pendidikan melalui BOS (Bantuan Operasional Sekolah) di semua sekolah patut kita apresiasi bersama. Namun harus dipahami bahwa BOS adalah bantuan anggaran yang “standar” dalam pengelolaan dan penggunaannya. Masalah muncul ketika suatu sekolah ingin lebih memberikan layanan pendidikan dan meningkatkan mutu serta prestasi peserta didiknya baik di bidang akademik dan non-akademik.
Masalah di atas bisa terselesaikan dengan baik ketika peran Komite Sekolah bisa maksimal dijalankan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 yang mengatur tentang Komite Sekolah. Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua, tokoh masyarakat, dan pakar pendidikan yang dipilih secara demokratis.
Komite Sekolah memiliki tugas dan fungsi, diantaranya: (a) Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan, (b) Memberikan masukan kebijakan sekolah, (c) Menggalang dana dari masyarakat, (d) Melakukan pengawasan pada tingkat satuan pendidikan, (e) Menjadi perwakilan dari orangtua murid lainnya, dan (f) Berfungsi sebagai jembatan kepada guru-guru.
Biasanya pada tugas dan fungsi menggalang dana dari masyarakat inilah, persoalan mulai menyeruak ke permukaan. Untuk itulah, Penulis memiliki beberapa gagasan yang patut menjadi bahan pertimbangan dan kajian untuk menjadi bahan pemikiran bersama, terutama ketika ada keinginan besar di Magetan berkeinginan membuat Peraturan Bupati (Perbup) terhadap turunan dari Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Gagasan yang bisa ditawarkan adalah sebagai berikut:
Pertama, keberadaan Komite Sekolah harus dimaknai dan dipahami bukan sebagai kepanjangtanganan Sekolah dan/atau Kepala Sekolah. Karena jika Komite Sekolah dimaknai sebagai kepanjangtanganan Sekolah dan/atau Kepala Sekolah, maka pasti ada peran yang tumpang tindih dan campur aduk antara peran Sekolah, Kepala Sekolah dan Komite Sekolah. Dan apabila ini yang terjadi, maka dimungkinkan memunculkan “permufakatan” yang tidak baik.
Kedua, apabila Komite Sekolah ingin menggalang dana dari masyarakat (orang tua/wali murid) maka harus dilakukan dengan musyawarah mufakat dengan seluruh orang tua/wali murid tanpa terkecuali dan harus menghasilkan 100 persen kemufakatan bersama. Apabila tidak terjadi kemufakatan 100 persen, ada sebagian kecil orang tua/wali murid yang merasa keberatan, maka orang tua/wali murid tersebut bisa “dibebaskan” dari hasil musyawarah yang telah diambil bersama.
Ketiga, menggalang dana dari masyarakat yang dilakukan oleh Komite Sekolah harus dimaknai sebagai sumbangan dan/atau bantuan, bukan iuran dan/atau pungutan. Karena sifatnya sumbangan dan/atau bantuan, maka tidak boleh ada batasan waktu dan batasan jumlah dalam memberikan sumbangan dan/atau bantuan tersebut. Karena jika ada batasan jumlah dan batasan waktu, maka makna sumbangan dan/atau bantuan akan hilang maknanya.
Keempat, Komite Sekolah sebelum melakukan Rapat Komite meminta Kepala Sekolah untuk memberikan informasi dan menerangkan tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) setiap tahun anggaran sekolah.
Kelima, setelah Komite Sekolah mendapatkan informasi lengkap tentang RAPBS dari Kepala Sekolah, maka Rapat Komite Sekolah bisa dimulai tanpa ada kehadiran dari Kepala Sekolah dan/atau guru. Sehingga tidak ada intervensi dari Kepala Sekolah dan guru kepada Komite Sekolah. Dan marwah Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri tetap terjaga
Keenam, setelah Rapat Komite Sekolah selesai dilaksanakan dan diketahui berapa sumbangan dan/atau bantuan sesuai kemufakatan bersama, maka perlu diumumkan di sekolah termasuk penggunaan sumbangan dan/atau bantuan tersebut untuk kebutuhan apa saja. Hal ini adalah sebagai bentuk transparansi informasi kepada publik khususnya di lingkungan masing-masing sekolah.
Ketujuh, dalam hal menggalang dana masyarakat, peran dan fungsi komunitas alumni masing-masing sekolah sebenarnya bisa diberdayakan secara optimal dan maksimal. Sehingga bisa saling mendukung dan saling sinergi dengan Komite Sekolah.
Hal yang paling penting dipahami, bahwa persoalan pendidikan tidak semata-mata urusan pemerintah an sich, tetapi juga menjadi urusan dari masyarakat dan swasta untuk terus bahu-membahu bersama-sama saling sinergi untuk memajukan pendidikan khususnya di Magetan yang Ngangeni ini. Akhir kata Aristoteles pernah berkata: “Akar pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis”.
Oleh:
Muries Subiyantoro
Ketua Dewan Pendidikan Magetan
Periode 2024-2029
Copyright @Ragam Jatim