Kujang, Salah Satu Senjata Tradisional Yang Memiliki Nilai Sakral dan Mistis
0 menit baca
Ragamjatim.id - Kujang merupakan salah satu senjata tradisional yang paling dikenal dari Jawa Barat. Senjata ini bahkan menjadi simbol Kota Bogor dengan adanya Tugu Kujang yang terletak tepat di sebelah Kebun Raya Bogor.
Kujang memiliki sejarah yang cukup panjang. Senjata ini diperkirakan telah ada sejak era Tarumanagara. Meskipun tidak pernah didokumentasikan dalam prasasti, berbagai situs bersejarah tampak menjadi saksi keberadaan Kujang, seperti situs megalitik Batu Kujang di Sukabumi, penemuan 'kudi' di kompleks candi Batujaya Karawang, relief candi Sukuh di Surakarta, dan lainnya.
Di tanah Pasundan, Kujang adalah senjata yang memiliki nilai sakral dan mistis. Senjata yang berkembang di tanah Pasundan ini berfungsi sebagai medium mistik, lambang status, jimat, atau piandel.
Pada masa Kerajaan Pajajaran sekitar tahun 1170, Kujang didesain oleh para Empu ternama seperti Mpu Windu Sarpo, Mercukunda, dan Ramayadi. Selain memenuhi kebutuhan ritual, Kujang juga melengkapi nilai-nilai budaya Sunda pada masa itu. Sistem, tatanan, dan pemikiran saat itu memicu pengembangan bentuk Kujang.
Pada waktu yang bersamaan, Kujang juga menjadi simbol status dan pangkat, penghormatan kepada pemimpin yang berkontribusi besar, serta nilai-nilai ajaran. Ajaran Sunda Wiwitan dan sistem pemerintahan juga memungkinkan rupa Kujang berkembang sebagai representasi pulau Jawa (Ku Jawa Hyang). Nama Kujang sendiri dipercaya berasal dari Ku Jawa Hyang.
Seorang ahli okultisme dan profesor metafisika asal Amerika, Alexander Lee, mengonfirmasi sebuah catatan masyarakat Sunda di masa lalu yang menyebutkan Prabu Kudo Lalean menemukan gambaran visual tentang bumi yang diinjaknya, yaitu Pulau Jawa.
Selanjutnya, Kudo Lalean meminta para ahli penerawang untuk meneliti bentuk Pulau Jawa (Ku Jawa Hyang) tersebut. Mandat itu kemudian diserahkan kepada Empu Windu Sarpo. Terawangannya menghasilkan bentuk pulau “Jawa Dwipa” atau Pulau Jawa.
Catatan lain diungkap oleh Sulaeman Anggapradja, yang meneliti kudi dan kujang. Ia menemukan beberapa naskah berbahasa Jawa kuno seperti berikut:
“Sebua kujang yang dikenal sebagai kujang kebesaran Prabu Wangi atau Sang Nata, berbentuk peta tanah Sunda, mencakup wilayah Jawa Tengah. Pada kujang tersebut tergambar Ujung Kulon, Teluk Banten, Pelabuhan Ratu, dan lain-lain,” demikian bunyi naskah tersebut.
Bentuk Pulau Jawa pada Kujang mencerminkan filosofi cita-cita Prabu Kudo Lalean, yaitu menyatukan kerajaan-kerajaan kecil pulau Jawa menjadi satu kerajaan yang dipimpin oleh Raja Padjajaran Makukuhan.
Sementara itu, tiga lubang pada Kujang melambangkan Trimurti atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, kepercayaan yang dianut Kudo Lalean.
Saat pengaruh Islam menyebar di pulau Jawa, Kujang mengalami desain ulang menjadi mirip huruf Arab 'Syin'. Menurut jurnal Universitas Krisnadwipayana, 'Syin' pada Kujang adalah huruf pertama dalam ungkapan (kalimat) syahadat.
Tiga lubang yang melambangkan 'Trimurti' juga digantikan oleh lima lubang melambangkan lima pilar dalam rukun Islam. Pada masa ini, Kujang mencerminkan gabungan dua desain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang.(*)