Update

Tradisi Ritual Upacara Adat Kebo-Keboan, Perayaan masyarakat Osing di Kabupaten Banyuwangi

Tradisi Ritual Upacara Adat Kebo-Keboan, Perayaan masyarakat Osing di Kabupaten Banyuwangi

Ragamjatim.id - Ritual kebo-keboan dilaksanakan setiap tahun pada bulan Muharram atau Syura (Kalender Jawa) asal usul ritual ini mengandung kisah yang menarik, dalam periode tersebut, seluruh penduduk mengalami bencana pagebluk (epidemi), di mana setiap individu terserang penyakit, dan hama wereng juga merusak tanaman di lahan pertanian desa.

Banyak warga yang kehilangan nyawa akibat wabah ini, dalam kondisi sulit tersebut, seorang sesepuh desa bernama Buyut Karti melakukan meditasi di sebuah bukit dekat desa, dalam proses meditasinya, beliau menerima ilham yang menyuruhnya untuk mengumumkan kepada seluruh warga agar melaksanakan ritual kebo-keboan, yang mana hasilnya adalah warga yang sakit tiba-tiba sembuh, dan hama wereng yang menyerang tanaman padi pun menghilang.

Sejak saat itu, ritual kebo-keboan diadakan secara rutin hingga kini untuk mencegah bencana serupa datang kembali. Prosesi upacara kebo-keboan di Alasmalang dilaksanakan pada bulan Syura karena masyarakat Jawa meyakini bulan ini istimewa, di samping merupakan pesan dari Buyut Karti.

Seminggu sebelum acara, warga Dusun Krajan bahu-membahu membersihkan lingkungan rumah dan dusun mereka. Satu hari sebelum acara, para ibu menyiapkan sesaji yang terdiri dari tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, beragam jenang, dan inkung ayam, serta perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal (alat bajak tradisional), pacul (cangkul), peras pitung tawar, beras, pisang, kelapa, dan bibit padi.

Seluruh sesaji ini, selain untuk slametan, juga akan ditempatkan di setiap persimpangan jalan di Dusun Krajan. Pada malam hari, para pemuda menyiapkan aneka hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gantung, pala pendhem, dan pala kesimpar.

Tanaman-tanaman itu kemudian ditanam kembali di pinggir jalan Dusun Krajan, dan mereka juga mempersiapkan genangan air yang mirip bendungan untuk mengairi tanaman palawija tersebut. Saat pagi tiba, diadakan slametan di petaunan dihadiri panitia, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga sekitar.

Kemudian seluruh warga dusun berbaris untuk pawai ider bumi mengelilingi Dusun Krajan. Air terus mengalir, dan peserta upacara segera menuju kawasan persawahan milik warga Dusun Krajan.

Di sini, orang yang berdandan layaknya kerbau mulai menampilkan perilaku serupa kerbau, seperti membajak dan berkubang. Beberapa peserta langsung turun ke sawah untuk menaburkan benih padi yang diyakini sebagai penolak bencana, mendatangkan keberuntungan, dan membawa berkah.

Saat para peserta berlomba mengejar benih tersebut, kebo-keboan dibacakan mantra sehingga tanpa sadar mereka mengejar para perebut benih yang dianggap sebagai gangguan, tetapi tanpa membahayakan peserta.

Setelah pertempuran benih selesai, sang pawang akan mengembalikan kesadaran kebo-keboan tersebut dengan mengusapkan air peras pitung tawar ke bagian kepala mereka. Setelah itu, mereka kembali ke petaunan, tempat berakhirnya ritual kebo-keboan.

Bagi sebagian masyarakat Osing, upacara adat kebo-keboan bukan sekadar tontonan, melainkan juga sebagai petunjuk.

Upacara ini bukan hanya berupa hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, penyuluhan, dan pendidikan, khususnya untuk mengajak, menolak, memelihara, dan mengembangkannya.

Dalam prosesi ritual kebo-keboan, banyak fungsi dan nilai yang dihasilkan. Keberagaman nilai dalam budaya atau kultur manusia bisa dilihat dari arah, tujuan, dan fungsi nilai bagi kehidupan manusia.(*)

Posting Komentar